
Walau saya kurang setuju TI dijadikan primadona (ingat kasus kelangkaan kedelai karena kita mengabaikan industri dan teknologi pangan?. Saya berbicara tentang bagaimana para alumni SMA dan sederajat dapat memasuki bisnis di sektor TI. Satu sikap yang perlu anda miliki dalam memasuki bisnis di sektor ini adalah PD (Percaya Diri). Untuk dapat pengetahuan teknis, anda cukup ikuti kursus-kursus, biayanya bisa jadi lebih murah daripada anda kuliah. Apalagi sebagai pebisnis, anda tentu tak ingin menghabiskan banyak waktu di kelas kan?. Justru saya pernah menemui seorang teknisi komputer yang memberikan pendapat logisnya kepada saya, dia juga pernah mengenyam bangku kuliahan walaupun tidak sampai selesai. "Buat apa kuliah?, di kuliahan ga diajarin servis kayak gini. Ini ilmu pasar, mendingan kerja aja di Glodok. 6 bulan juga dah bisa buat usaha sendiri." begitulah penuturannya.
Bila sikap dianggap sebagai modal, modal kedua yang diperlukan adalah cash. Anda perlu meyakinkan orang tua agar diberikan modal dan langsung terjun di ke bisnis. Tak banyak orang tua akan meluluskan permintaan ini karena kuatnya ritual pendidikan. Tapi, orang tua yang pebisnis mungkin mudah meluluskannya.
Untuk lebih kuat dalam berusaha, anda sebaiknya mengumpulkan modal bersama teman-teman, tidak modal sendirian. Modal yang lebih kuat memberi napas yang lebih kuat.
Setelah anda memiliki cash, pikirkan sifat bisnis anda. Secara kasar, bisnis dalam hal TI dapat dikategorikan atas bisnis produk dan bisnis jasa. Ini sangat disederhanakan. Dalam praktik, batasannya sering kabur. Contoh: kalau bisnis anda adalah jual produk hardware, hampir pasti anda harus sediakan jasa pemeliharaan terhadap produk tersebut. Sebaliknya, kalaupun anda menyatakan bisnis anda adalah jasa pembuatan software, bukankah anda membuat produk juga?
Tetapkanlah "kiblat" anda, close source-code atau opened source-code, agak sulit bila anda tidak berkiblat. Saya sendiri tidak berkiblat, tapi saya akui secara politik ini memang sangat sulit.
Bila anda berkiblat pada closed source-code carilah informasi cara menjadi partner vendor, apa keuntungan dan kewajibannya. Bila anda berkiblat pada opened source-code carilah informasi tentang komunitasnya. Pada kiblat ini anda harus lebih cerdik dalam mendapatkan informasi cara mendapatkan uang. Modal ketiga anda adalah pengetahuan tentang proses bisnis. Bila anda ingin masuk ke sekotr TI pemerintah, pelajarilah Keppres 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pelajari juga prose-bisnis pendirian perusahaan.
Modal keempat adalah pengetahuan bisnis dan keuangan. Bicarakan hal pembagian keuntungan. Belilah software pengolah keuangan (bila perlu). Sekarang bahkan sudah ada software gratis untuk hal ini. Bila anda mau membeli, sudah ada software akuntansi buatan lokal yang murah dengan support yang bagus.
Salah satu bisnis yang cukup mudah dimasuki secara teknis adalah bisnis menjadi penyalur produk luar negeri. Belilah majalah, dan pasang telinga sana-sini tentang produk apa saja yang sedang in, atau yang akan jadi trend. Kontak perwakilannya.
"Faktanya saat ini bisnis di sektor TI lebih mudah dimasuki daripada bisnis di bidang lain"
Bagaimana hitungan ekonomis untuk justifikasi keputusan tidak kuliah ini? Berikut ini kalkulasi saya, silahkan koreksi dan sesuaikan dengan kasus anda. Biaya kuliah untuk satu tahun Rp. 20 juta yang berarti untuk empat tahun Rp. 80 juta. Biaya fotokopi/beli buku Rp. 1juta per semester, yang berarti Rp. 10 juta selama kuliah (biaya bisa membengkak saat pembuatan tugas akhir). Biaya-biaya lain yang masih mungkin timbul adalah biaya transpor, biaya makan, dan biaya indekos. Perkiraan minimal biaya total untuk kuliah 4 tahun di jakarta (tanpa indekos) adalah Rp. 120 juta.
Saya mungkin setuju untuk kredit "jangka panjang "Rp. 30 juta/tahun selama 4 tahun. Saya tentu harus menggabungkan modal dengan teman-teman. Kalau saya berhasil, akan ada kebanggaan sendiri dan mungkin tidak capek menlamar pekerjaan, dan pasti dapat mengurangi pengangguran. Hmm, kewirausahaan sedang digalakan ya? Let's try.
Inspired by Bernaridho I. H. (BIE)